Misi Dunia: Belas kasih Melampaui semua batas

Suatu orientasi internasional ada dalam kode genetik CMM. Kongregasi kita di awal pendirian dijalankan secara internasional. Sebuah kenyataan bahkan sebelum itu: frater-frater pertama menerima pembinaan di luar, tepatnya di biara Kapusin Meersel-Dreef dan bersama para frater dari Sekolah Kristen di Malonne, keduanya di Belgia.


 

Contoh internasional

Visi dari Uskup Zwijsen terbentang jauh ke depan yang ternyata sangat berguna ketika ia  mendirikan kongregasi suster dan frater mau pun ketika memulai ekspansi. Ia sungguh mengikuti model asal perancis; suster dan frater saudara dari St. Vinsensius de Paul. Ia mendapatkan informasi yang tepat berkaitan dengan perkembangan religius terakhir di Flanders, secara khusus Bruder Karitas di Gent dan para imam Hati Kudus di Louvain. Dengan demikian cita-citanya menjadi nyata di Tilburg dan berkembang melampaui misi lokal serta cenderung mengikuti situasi Eropa.

Komunitas pengungsi

Tidak mengherankan bahwa Zwijsen segera memulai pendirian komunitas baru di luar Belanda. Komunitas pertama adalah di Maarseik, Belgia yang dibuka pada tahun 1851 dan pada masa yang sama Suster SCMM juga memulai di Belgia, Inggris dan Irlandia. Pilihan untuk ke luar dari batas wilayah tidak semata-mata terinspirasi oleh masukan para misionaris, tetapi juga karena pertimbangan politik. Dimana-mana di Eropa barat terdapat sikap permusuhan terhadap religius. Hal ini menjadikan mereka terus bertahan dalam ketidakpastian selama beberapa dasawarsa. Ketika Zwijsen melihat permasalahan toleransi di Belanda, ia ingin mengembangkan beberapa komunitas di negara lain sehingga para suster dan frater CMM bisa pindah. Situasi politik perlahan-lahan membaik sehingga kedua kongregasinya, suster dan frater tidak jadi keluar dari Belanda dan Belgia. Namun itu hanya terjadi di akhir abad 19, setelah itu tidak terjadi lagi permusuhan dan kekacauan.

 

 

Melampaui batas wilayah

Alasan utama berkarya secara internasional karena terinspirasi akan kebutuhan masyarakat  setempat. Para frater memulainya di barat: Antila Belanda dan Suriname, dengan karya pendidikan tahun 1886 dan 1902. Juga permintaan berkarya di negara lain seperti Brazil 1899, namun tidak terealisasi karena sumber daya kongregasi masih sangat terbatas. Sepertinya  berkarya kala itu tidak mempertimbangkan bahasa dan sistem sekolah. Tahun 1923, misionaris pertama berangkat ke Indonesia. Juga sangat dibutuhkan pendidikan Katolik dan para frater langsung menerapkan keahlian mereka.

‘Pergi dan ajarilah’

Sebuah gelombang ekpansi internasional terjadi pada tahun-tahun setelah perang dunia ke-II. Ini terinspirasi melalui misi ensiklik Fidei Donum (hadiah iman) dari Paus Pius ke XII, tahun 1957. Paus meminta para religius yang berasal dari negara lebih maju bekerjasama dengan misi gereja untuk negara-negara yang lebih membutuhkan. Guna mewujudkan ini, mereka harus mengalihkan dan menyerahkan beberapa tugas mereka kepada yang lain. Terinspirasi oleh Uskup Den Bosch kala itu, Rinie Bekkers mengatakan: “Para religius dibutuhkan bila terdapat kebutuhan yang amat besar di sana”, CMM memutuskan untuk mereorientasi misinya. Aktualisasi dari komitmen ini begitu cepat. Tahun 1958 kelompok frater pertama berangkat ke Kenya dan Kongo, tahun 1959 ke Barat Daya Afrika (sekarang Namibia) dan 1960 ke Brazil. Untuk mendukung misi dibuka juga komunitas di California tahun 1963. Agar bisa merealisasikan komunitas-komunitas ini, CMM harus membatasi bidang pendidikan di Belanda dan Belgia serta Antila Belanda. Prioritas adalah memberikan pendidikan kepada yang paling miskin; kerasulan ini terdapat dalam moto biblical: Pergi dan ajarilah (bdk. Mat. 10: 7)

 

 

Inkulturasi

Tersebarnya frater secara internasional merupakan hasil kombinasi antara faktor sejarah dan undangan yang diterima kongregasi. Di negara-negara seperti Indonesia dan Kenya kongregasi harus memulainya dari akar rumput, sehingga agak lebih sulit mewujudkannya. Internalisasi kongregasi tidak selalu merupakan riwayat yang sukses. Misionaris pertama harus bekerja keras dan menghadapi banyak rintangan untuk mendirikan sekolah dan komunitas di negara-negara lain. Pada awalnya barangkali di luar dugaan, apa artinya memperkenalkan hidup religius pada budaya lain: para frater menyadari bahwa tidak mungkin menerapkan bentuk hidup sama dengan yang di bawa dari negara asal. Novisiat pertama dengan orang muda di negara-negara ini gagal. Misi menuntut banyak persiapan dari yang telah dialami. Agar dapat mengintegrasikan dengan budaya lokal, diminta harus mengetahui banyak tentang negara, penguasaan bahasa dan menyatu dengan budaya lokal. Ini memakan waktu lebih dari satu generasi sebelum para frater akhirnya menemukan bentuk hidup sesuai dengan budaya lokal.

Sejak tahun 1980-1990 frater-frater mulai berkembang seperti Indonesia, Kenya dan Namibia. Frater-frater dari negara-negara ini, kini hidup dan berkarya di negaranya dan hanya beberapa yang berasal dari Belanda.